Menyakitkan! Itulah
rasa hati masyarakat Indonesia ketika menyeruak kabar bahwa koruptor,
baik dari kalangan legislatif, eksekutif maupun yudikatif masih
diberikan "penghargaan" berupa dana pensiun.
Dana pensiun itu
filosofi dasarnya adalah diberikan sebagai penghargaan. Imbalan atas
jasa-jasa pegawai, pejabat negara selama mengabdikan diri. Artinya, dia
memiliki prestasi yang patut diberi imbalan penghargaan atas
pengabdiannya itu.
Sungguh aneh bin ajaib, anggota DPR, pejabat
negara lainnya, yang notabene abdi negara, ketika dalam proses hukum
atau sudah terbukti korupsi, telah menggerogoti uang negara, masih
diberi tanda jasa, berupa penghargaan dana pensiun.
Pertanyaannya,
kenapa koruptor, pejabat yang telah menggerogoti uang negara, masih
diberikan dana pensiun? Ini jelas bertentangan dengan filosofi dasar,
bahwa uang pensiun diberikan sebagai penghargaan atau penghormatan itu!.
Apa
yang salah, sehingga koruptor bisa diberikan dana pensiun? Pihak
pimpinan DPR menyatakan bahwa anggota dewan yang terlibat korupsi dan
telah mengundurkan diri, tetap berhak mendapatkan dana pensiun. Artinya,
dana pensiun itu sudah mulai diterima sebelum ada putusan hukum tetap
atas kasus korupsinya.
Apa dasarnya? Undang Undang Nomor 27 Tahun
2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, atau biasa disebut UU MD3. Tapi,
Citra Yuda Nur Fatihah, mahasiswa semester 7 Fakultas Hukum Universitas
Indonesia yang mengaku telah memelototi UU tersebut yang terdiri 408
pasal, dalam tulisan di Kompasiana menyatakan tidak menemukan satu-pun
aturan yang tegas terkait hal tersebut.
Menurut dia, yang lebih
banyak mengatur mengenai uang pensiun dan hak-hak keuangan lainnya bagi
anggota MPR/DPR/DPD adalah UU Nomor 12 Tahun 1980. UU yang telah uzur
itu secara khusus mengatur mengenai Hak Keuangan/Administratif Pimpinan
dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga
Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara.
Citra
yang mengaku jengkel atas fakta pemberian dana pensiun bagi koruptor
tersebut, menulis artikel dengan judul, "Terlalu, Sudah Merampok Uang
Rakyat Kok Masih Ngotot Dapat Pensiun".
Bedebah! Akal-akalan,
pura-pura bodoh! Saking jengkelnya, mungkin banyak warga di negeri ini
yang terpaksa mengeluarkan kata-kata seperti itu. Betapa tidak, karena
apa yang terjadi bertolak belakang dengan filosofi dasar bahwa dana
pensiun diberikan sebagai penghargaan atas jasa-jasa selama mengabdi.
Faktanya
sudah jelas, korupsi! Korupsi itu menggerogoti uang negara, uang
rakyat. Itu bukan jasa pengabdian, Bung! Karenanya mereka tidak patut
diberikan imbalan, penghargaan, dana pensiun!
Mendasarkan UU MD3
hanyalah akal-akalan, karena faktanya tidak ada pasal yang secara tegas
mengatur bahwa koruptor tetap diberikan dana pensiun. Demikian pula
alasan menjalankan aturan UU No.12/1980 juga karena bodoh atau pura-pura
bodoh!.
Mengapa? Karena ketika aturan itu sudah tidak sesuai,
maka tidak selayaknya Anda patuh pada ketentuan tersebut. Masak mau
mengikuti "imam" yang tidak benar?.
Banyak hal yang bisa menjadi
alasan pembenar, penguat, untuk tidak memberikan dana pensiun kepada
koruptor. Yang terjadi sekarang ini adalah tidak intelek, hanya menambah
dosa dunia akhirat bagi yang memutuskan hal itu!
Anda para
pemutus ketentuan pemberian dana pensiun bukan robot, melainkan petugas
negara yang harus berpikir dan menjalankan kebijakan secara intelek,
bukan sekadar "manut" pada pasal-pasal yang sudah usang, walau masih
menjadi hukum positif.
Para pengambil kebijakan dan keputusan
pemberian dana pensiun tentu punya hati. Mestinya merasakan hal sama
dengan rasa hati masyarakat luas.
Demikian pula soal alasan
majelis hakim yang mengadili para koruptur dalam amar putusannya atau
vonisnya tidak mencantumkan klausul "tidak diberikan hak pensiun", juga
tidak patut menjadi alasan.
Ketika majelis hakim memutuskan
terbukti korupsi dengan menjatuhkan hukuman tertentu, maka hal itu
seharusnya sudah bisa menggugurkan hak dana pensiun. Hak memperoleh
penghargaan bagi abdi negara, baik eksekutif, legislatif maupun
yudikatif.
Ini mengingat dana pensiun diberikan sebagai
penghargaan. Sementara koruptur jelas menggerogoti uang negara, bukan
berjasa pada negara. Tidak selayaknya diberikan penghargaan, tanda jasa
pengabdian berupa dana pensiun.
Kalau para penentu kebijakan
urusan pemberian dana pensiun merasa takut menolak untuk memberikan dana
pensiun bagi koruptor, dengan alasan aturannya demikian, maka lebih
baik mundur saja dari jabatannya.
Jangan hanya menjabat untuk
numpang hidup, dan menjalankan aturan yang menyakiti hati rakyat. Itu
hanya membuat hidup anda tidak berarti dan berdosa! Lawanlah aturan yang
sudah tidak sesuai, dengan mengembalikan pada filosofi dasarnya.
Demikian
pula soal pejabat politik, seperti anggota DPR, DPRD, dan DPD yang
mengakhiri tugasnya setelah lima tahun atau kurang dari itu, pantaskah
diberikan hak dana pensiun?
Terlalu berat beban anggaran negara
ini jika setiap lima tahun harus menyisihkan dana pensiun untuk mereka.
Sejumlah politisi serta partai, seperti PAN dan Gerindra, mendukung
penghapusan hak dana pensiun tersebut.
Pengabdiannya tidak
seberapa, hanya beberapa tahun dan belum tentu menguntungkan negara,
tidak sebanding jika harus diberikan hak dana pensiun! Toh mereka
umumnya sudah cukup makmur, bahkan berlebih. Anggaran itu lebih baik
diarahkan untuk mendukung program pengentasan kemiskinan, pengangguran,
dan lingkungan yang rusak. (*)